Cerpen seperti apa kamu suka?

Senin, 11 April 2011

Syair-syair Cinta Untuk Lastri

oleh Dini Halimah pada 30 Maret 2010 jam 16:12

Seluruh tubuhku terasa sakit. Dadaku sesak. Sementara kepalaku merasakan nyeri yang teramat dalam. Sakit dan sakit, hanya itu yang bisa kurasakan. Entah apa yang sedang terjadi padaku. Aku hanya bisa melihat kegelapan berputar di sekelilingku. Semakin gelap dan gelap. Lalu semuanya lenyap ditelan waktu...entah berapa lama itu.

Angin semilir terasa menyentuh kulit dengan lembut. Kurasakan juga aroma pengap disekitarku. Sesekali kucium aroma bunga segar di antara pengapnya udara yang jenuh dengan bau-bauan yang sepertinya kukenali. Lalu aku terbangun pada suatu pagi yang aneh.
Embun rerumputan di sekitar tubuhku menyandarkan ketidaksadaranku dengan dinginnya yang menusuk kulit. Kubuka mataku perlahan. Silau. Ada langit-langit dengan cahaya yang sangat menyilaukan di sana. Lalu kucoba bangkit. Entah, ada di mana aku sekarang. Aku bingung. Kudapati tubuhku terjerembab di sebuah hamparan tanah yang dikelilingi rumput liar dan ilalang. Tak kulihat ada seorang pun di sana. “Tempat apa ini?” hatiku bertanya-tanya. Ku langkahkan kakiku yang tak beralas dirajam oleh duri dan kerikil-kerikil terjal yang menghalangi langkahku. Ada bagian-bagian tubuhku yang masih terasa sakit dan nyeri, tapi entah di mana itu aku tak sempat menghiraukannya.
Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita bernyanyi di ujung sana. Entah suara siapa itu, aku merasa tidak asing. Ku putuskan untuk mengikuti asal suara itu. Semakin jauh aku melangkah, semakin jelas pula suaranya. Ada nada serak di antara lantuanan lagu yang aku begitu kenal syairnya.

“Tak lelo lelo lelo ledung....
Cup menengo, ojo pijer nangis
Anakku, sing bagus rupane
Jo nangis, ndak ilang baguse
Takgadhang biso urip mulyo
Dadiyo satriyo utomo
Anjunjung jenenge wong tuwo
Dadiyo pendhekaring bongso ...”

Ya benar, aku begitu kenal dengan suara itu. Rasa sakit di kepalaku semakin menggigit. Tapi tekat kuatku untuk mencari sang pemilik suara mengalihkan semua perhatianku pada rasa sakit yang bergerumul di kepala. Tiba-tiba ada perasaan rindu yang menggebu-gebu pada suara yang masih samar siapa pemiliknya itu. Semakin lama, semakin sayup. Kupercepat langkahku, semakin cepat dan cepat. Kakiku terasa nyeri ketika kupaksakan berlari. Aku begitu takut kehilangan arah darimana suara itu berasal.
Banyak sekali ilalang dan semak belukar yang menghalangi perjalananku kali ini. Tapi sekuat tenaga kuterpa juga, hingga akhirnya aku melihat sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu di sana. Di belakang rumah itu tampak hamparan sawah hijau yang sangat luas dibatas-batasi oleh pematang sawah. Tampak ada aliran sungai jernih nan panjang melintang memberikan jarak antara rumah dan sawah itu. Aneh... Tak kulihat rumah penduduk lain di sekitarnya. “Atau mungkinkah pandanganku yang mulai kabur, sehingga aku hanya bisa melihat rumah kecil itu?” gumamku kebigungan.

Kuamati lekat-lekat rumah kecil itu. Ada seorang wanita duduk pada sebuah kursi bambu di teras rumahnya. Ia tampak masih muda sekali dengan selendang yang melilit tubuhnya beserta seorang makhluk kecil di antara selendang itu. Dengan kasih sayangnya dia menimang-nimang dan menepuk-nepuk tubuh bayi mungil itu sambil kulihat mulutnya berkali-kali melantunkan lagu tak lelo lelo ledung. Kuamati lagi pemilik suara serak itu. Tubuhnya langsing, proporsional dengan rambut sepunggung yang ia ikat di belakang. Balutan baju sederhana yang membungkus tubuhnya tidak dapat menyembunyikan kulitnya yang kuning langsat dan terawat. Kuusap mataku berkali-kali saat kuamati lekat-lekat wajahnya.

“Lastri??!!” Hatiku seakan menjerit meneriakkan nama itu, tetapi mulutku tetap terdiam membisu tak sanggup berkata sepatah kata pun. Aku tertegun menatapnya. Gadis manis itu segera menyadari kehadiranku di sana. Dengan senyum tipisnya ia memandangku sekilas, lalu ia tenggelamkan kembali seluruh perhatiannya pada bayi mungil di tangannya. Ingin sekali kuhampiri wanita itu, tapi entah kenapa kakiku kaku seakan tak mau digerakkan.

Aku rindu... aku merindukannya setengah mati. Kehangatannya, belaiannya, senyum tipisnya, tawanya, dan air matanya dulu... aku rindu semuanya. Perih, kepalaku semakin terasa sakit, pandanganku buyar, gelap, tak ada yang bisa kulihat... aku bingung... “Las...lastrii...LAASSTRI...!!!” teriakku sekuat2nya.
Kulihat wajah Dina yang tampak pucat di hadapanku. Dia genggam tanganku begitu erat sambil menangis sesenggukan. Lalu ayah, ibu tiriku, Nia, dan Vita adekku yang paling kecil merumuniku. Mereka tampak sama paniknya dengan Dina. Aroma obat menyebar di mana-mana, aku bingung. “Yah, aku dimana?” tanyaku pada ayah ketika beliau meminumkan segelas air putih untukku. “Kamu di rumah sakit lee, kamu lupa motormu nabrak bus di tikungan arah Bulek Mi??” tanya ayahku dengan sabar. Aku masih bingung, kepalaku terasa begitu sakit untuk mengingat semuanya. “Lastri mana?” tanyaku tiba-tiba. Kulihat wajah mereka tampak bingung dan saling berpandang-pandangan. “Lastri siapa Rud?” tanya Dina bingung.

“Siapa Lastri?” tanyanya lagi tampak khawatir. “Yah, aku pengen nikahin Lastri yah. Tolong anterin aku ke rumah Lastri, aku sayang dia. Aku mau bertanggung jawab Yah... Aku pengen meluk anakku yah.” kataku terbata-bata pada ayahku yang tampak mengkerutkan keningnya tanda tidak mengerti. “Lastri siapa Rud?? Bukannya Dina ini tunanganmu??Siapa itu lastri?”tanya ayahku bingung. Kuamati Dina yang masih terisak oleh tangis, dan aku pun mulai ingat dengan jelas bagaimana aku mencampakkan Lastri dulu.Aku terlalu pengecut untuk bertanggung jawab atas kehamilannya. Dan hanya sebuah senyum tipis yang kulihat dari bibirnya ketika kubiarkan dia melihat perselingkuhanku dengan Dina. Entah laki-laki bajingan macam apa aku ini. “Aku ingin ketemu lastri yah, aku yang menghamili dia.” kataku dengan isak tangis memohon. Entah rasa sakit apa yang dirasakan Dina saat ini, yang jelas Lastri lah yang paling terluka atas semua ini. “Tapi .. tapi... kamu baru aja sadar Lee, udah 3 minggu ini kamu koma. Dan...dan... kakimu...kakimu... terpaksa harus diamputasi Rud.” kata ayahku terbata-bata.

“TIDAAAAAAAAKKKKKK”

Tiga bulan telah berlalu sejak peristiwa itu. Hidupku selamanya ditopang oleh kursi roda akhirnya. Ada Dina istriku yang selalu setia menemaniku ke tempat ini, membiarkanku menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara pada Lastri. Pada anak kami yang masih terlalu kecil untuk mengerti arti goresan dalam hidup ini. Membiarkanku melepas ribuan rindu yang tak dapat kusampaikan dulu. Entah neraka seperti apa yang telah kubangun untuknya. Dengan sekeping kaca dia akhiri hidupnya dan hidup anak kami begitu saja. Tanpa memberitahuku, meminta pendapatku, atau bahakan meminta sebuah pertanggungjawaban dr laki-laki pengecut sepertiku. Sementara aku hanya bisa mengirimkan ribuan syair-syair cinta yang tak kan pernah cukup untuk menebus dosaku padanya.

Lastri
27 Januari 2007 09.30
Hujan mengalir mengalunkan syair-syair waktu
mengikis pias-pias air mata ketika kau berdiri di bawahnya
lalu aku tertunduk pada satu tanya...
akankah kau mengingatku di sana?

Tidak ada komentar: