Cerpen seperti apa kamu suka?

Senin, 11 April 2011

Sepenggal Air Mata di Tengah Hujan


oleh Dini Halimah pada 15 Desember 2009 jam 18:16
Pandanganmu tajam masih tersisa diantara derit malam
Masih bisa kurasa di ujung helaian nafasmu...
Ada rona nafsu disana membelenggu
Mengalir menyisakan serpihan-serpihan rindu
Pahit, sakit, dan kecewa.........

Hujan mengalir lemah membentuk titik-titik jarum suntik yang menghujami bumi, dimana warnanya kian redup kian mati. Tubuhku masih terbaring kaku menahan sakit. Dan suara-suara itupun bernyanyi menyusuri semak, berkeliling disekitar kesadaranku, lalu menamparku pada sebuah kebingungan. "Las... lastri..." suara itu memanggilku lagi. Aku terperanjat ketika seorang gadis kecil cantik memandangku tajam. Tersenyum manis seakan memintaku mengejarnya, menemukannya di dalam persembunyian yang kelam, tapi aku hanya bisa terdiam kaku. Membiarkannya pergi menghilang meninggalkanku sendiri.
Sakit... seluruh tubuhku sakit. Kadang terngiang wajahnya yang bisu menikamkan luka dan cinta secara bersamaan di dadaku. Senyumnya masih begitu lekat di mataku. Bibirnya yg manis khas dengan aroma rokoknya masih terasa dilidah. Aku masih ingat betul seperti apa binar matanya ketika aku mengenalnya dulu. Seorang cowok dengan seribu pesona di mataku. Tawanya, senyumnya, syairnya, wajah tampannya, kepopulerannya di sekolah, hingga tubuhnya memikatku terlalu jauh ke dalam dunianya. Dunia yang terasa begitu sempurna bagiku. Cabut dari sekolah, menjadi wanita yang paling istimewa dalam hidupnya, mengikuti degup jantungnya melakukan hal-hal aneh, tertawa lepas bersama, menjadi tamu istimewa bandnya, dan menjadi ratu di dalam khayalanku sendiri. Aku terlena dalam cintanya. Dalam angan-anganku. Dan dalam kepekatan malam ini.
Lalu seorang gadis kecil tadi menghampiriku lagi. memanggil-manggil namaku dari balik hati. "Bangun!... bangun...!" begitu yang kuingat dari kata-katanya yang samar. Lalu mataku yang sembab itu pun terbuka. Tubuhku masih basah terendam air dan telanjang. Bau anyir darah di perutku masih menganga menyayatkan rasa perih yg tak lagi bisa kurasa di atas perihnya luka di dada. Sesosok pria tua memandangku terheran-heran. "Pak...tolong saya..." kata-kataku pun akhirnya keluar dari mulutku. Tapi dia masih terpaku memandangku dengan isi perutku yang tak karuan terburai keluar. "Pak...tolong saya.."pintaku sekali lagi. Lalu dengan singkat bapak itu melepaskan bajunya untuk menutupi tubuhku yang tak lagi berharga ini.
Tiba-tiba gadis mungil itu memelukku, menciumku, mengajakku menari di sebuah hamparan putih abu-abu. Dia tampak bahagia. Entah kenapa aku merasa begitu tidak asing dengannya. kubelai rambutnya yang tergerai panjang sebahu. Dan aku terkejut ketika kutemui wajah ibuku menangis sesenggukkan tepat di hadapanku. "Kamu kok bisa begini tow nduk.." keluhnya dalam tangis. Dokter memberitahu bahwa bayi permpuan di dalam perutku telah tiada. Hatiku terluka teriris pilu ketika akhirnya kuingat semuanya. Teringat sepenggal cinta dan selusin tikaman yang dia hadiahkan untukku dan untuk anak kami.

Didedikasikan untuk Gadis yang terbuang di sungai sekketok LPPU UNDIP Tembalang

Tidak ada komentar: