Cerpen seperti apa kamu suka?

Senin, 11 April 2011

Akhir Sebuah Penantian

oleh Dini Halimah pada 28 Januari 2010 jam 14:48
Kabut pagi masih menggumpal ketika kulihat sosok laki-laki itu berjalan ke arahku. Heran, tak biasanya ada orang mencariku pagi-pagi. Dan sudah lama sekali tak kutemui seseorang bertamu ke rumahku yang kian rapuh ini. Langkahnya tampak ragu menapaki rumput-rumput hijau yang basah oleh embun.Sementara wajahnya masih samar tertutupi kabut.

Rasa penasaran mulai bergerumul di dada ketika tak kunjung jua kudapati jejaknya mendekat. “Siapa laki-laki itu?” gumamku dalam hati penuh kegundahan. Tapi tak sedikitpun ada keinginan di benakku untuk menghampirinya. Aku pura-pura bermain-main dengan bunga ilalang di bawah pohon sambil bersenandung lirih seakan tak menghiraukan kedatangannya.

“Lama sekali jalannya”pikiranku mengusik. Angin sepoi-sepoi membuat tubuhku kian pucat dan kedinginan. “Ah... mungkin bukan rumahku yang ia tuju.” gumamku sedikit kecewa ketika tak kudengar lagi langkahnya di antara semak-semak itu. Ku kipas-kipaskan bunga ilalang di tanganku hingga serbuknya berhamburan di udara, menari-nari dengan girangnya di sana. Lalu aku tersenyum menghibur diri...membayangkan seorang pangeran berbaju putih hadir disambut oleh taburan bunga ilalang yang membahana. Menemani setiap detik kesepian yang tak mampu kubendung sendiri.

Kuusap-usap dinding rumahku yang telah dirembeti lumut dan debu. Tampak jorok dan terabaikan. Pantas tak seorang pun yang enggan berkunjung ke sini untuk sekedar berbagi cerita. Tak seperti dulu, ketika hampir semua orang membutuhkan kehadiranku. Hanya dengan sedikit keahlian, kubuat semua orang terpana. Aku sangat bangga dengan hidupku saat itu. Hampir semua laki-laki memuja wajahku, tubuhku, otakku, gaya bicaraku, dan semua yang kulakukan. Tak heran banyak kesempatan terbuka lebar di hadapanku. Menjadi seorang model, reporter,dancer, penyanyi, dan juga mahasiswi berprestasi di kampus. Hingga akhirnya seorang pangeran tampan bertubuh tegap dengan bintang di seragamnya melamarku untuk mendampingi hidupnya. Aku tak percaya bahwa hidupku sesempurna itu. Kubangun setiap derap nafasku untuknya dengan sebentuk cinta yang utuh tanpa secuilpun penghianatan. Kusiapkan segalanya hingga hari pernikahanku pun tiba. Dua bulan yang penuh dengan kehangatan masih terngiang di dada. Dan bulan-bulan selanjutnya kuhabiskan waktuku untuk menunggunya di bandara. Berharap dia datang membawakan setangkai bunga mawar merah pesananku.

Lama sekali aku menunggu pangeranku kembali. Tak ada kabar sejak panggilan tugas itu dilayangkan begitu saja. Menorehkan jengkalan demi jengkalan jarak yang tak terhitung panjangnya. Hingga akhirnya aku tak lagi sempat menunggunya di bandara. Kuhabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari, selama 2 tahun terakhir ini dalam kesendirian di rumah usangku. Kunyanyikan lagu-lagu sendu di antara semilir angin, agar dia mendengarku. Pangeran yang tak pernah lagi kutemui sosoknya. Kebisuanku membuat semua warna tak seindah dulu lagi. Orang-orang tak lagi mencariku, menyanjungku, atau bahkan sekedar menjejakkan kakinya di halaman rumahku yang terabai. Hanya bunga ilalanglah teman setiaku hingga saat ini.

Laki-laki itu memandangku tajam. Kesedihan kutangkap dari raut mukanya yang terasa tak begitu asing. Sementara aku masih sibuk dengan bunga ilalang di tanganku, berusaha untuk tidak peduli lagi dengan siapapun yang datang.

Serbuk bunga ilalang beterbangan indah menghujani tubuhnya. Lalu aku tertegun ketika laki-laki itu berlutut tepat di bawah kakiku. Kurasakan juga tetesan air yang mengalir melalui sela-sela pelupuk matanya menyengatkan kehangatan yang telah lama terampas dari hidupku. “Mma.....maafin aku ma” katanya di sela senggukan tangis yang tak terbendung lagi. Aku masih terpaku mencoba mengingat-ingat kembali sosok laki-laki yang kini tersungkur di hadapanku.

“Badannya tampak lebih kurus dan kulitnya tampak lebih gelap sekarang.” pikirku setelah sadar bahwa laki-laki itu adalah pangeran yang selama ini kunanti. “Kenapa baru pulang sekarang pa?” tanyaku pilu. “Maafin aku ma...maafin aku” katanya lagi dengan tangisnya yang tak dapat ia bendung. Aku hanya terdiam kaku memandangnya berlutut berlumuran tanah selama berjam-jam meluapkan segala luka di balik dadanya. Dan aku tersenyum riang ketika ia sodorkan bunga mawar merah pesananku dulu. Meskipun tak lagi utuh seperti yang kuminta. Setidaknya aromanya akan mengisi dan mengharumkan tanah kuburanku yang telah lama menganga.

Tidak ada komentar: