Cerpen seperti apa kamu suka?

Senin, 11 April 2011

Ilalang dan Mantra-mantra

oleh Dini Halimah pada 08 Januari 2010 jam 13:23
Sampai juga deru angin, ketika cinta itu dihembuskan perlahan. Lelah, dan lemah mantra-mantra itu tampak putus asa mengalir. Dan ilalang menyambutnya dengan senyuman. Entah, sudah berapa lama aku terdiam bisu di sini. Kuukirkan sajak-sajak rindu lewat senandung mimpi. Lewat puisi-puisi cinta yang dulu sering kuukir di balik rotan. Ada namamu kuselipkan diantara syair-syair itu. Hingga cinta menjadi begitu angkuh membelenggu kita.

Aku tak lagi punya kuasa menemuimu. Menyadarkanmu kembali akan mimpi-mimpi kita dulu. Menarikmu ke dalam pelukku. Dan membisikkan kata-kata cinta yang dulu sering kau umbar di telinga.“So do I” kataku setengah hati. Lalu kulihat wajahmu tampak girang membahana. Berlonjak-lonjak menari membentuk pelangi. Aku tersenyum melihat sorot mata itu. Sorot yang begitu kurindu akhirnya. Sampai detik ini....

Ilalang pun menari diiringi denyut angin. Menyampaikan kisah-kisah usang bumi seberang. Aku hanya bisa manggut-manggut paham, tanpa komentar. “Tak penting lagi bagiku” kataku padanya. Sementara deritan mantra itu memaksaku menggigil perih. Membuatku terkenang lagi akan namamu yg kulupa dibalik ilalang. “Kenapa sayu, jika itu tak penting lagi?” tanya ilalang heran. Aku hanya bisa tertunduk lesu. “Bagaimana kau tahu wajahku sayu?” tanyaku perih. “Hahaahaha... bukankah sejak dulu wajahmu sayu??” ledeknya. Lalu aku pun ikut tertawa getir mengisi waktu yang kian pengap. Ingin sekali aku beranjak, tapi sepenggal bambu muda menahanku. Mengikatku erat di atas kepasrahan. Hanya nyanyian ilalang lah yang begitu sendu kudengar. Mengaburkan masa lalu yang kupendam dalam.

“Hujan” bisikku lirih padanya yang tertunduk bisu meneteskan butiran-butiran air yang tak mampu lagi ditahan. “Aku membantumu menangis” senyumnya ramah. Tak kulihat lagi canda atau selangsa ejekan dari bulirnya. “Kenapa?” tanyaku heran.”Aku sudah terlalu banyak bercerita padamu tentang negeri seberang bukan? Lalu kenapa kau tetap membisu tentang kisahmu?” tanyanya dalam. Aku tertegun dengan alunan nadanya yang kering. “Bahkan kusampaikan mantra itu setiap malam untuk menghiburmu... tapi tak pernah sedikit pun kau bagi ketentraman itu denganku.” tambahnya dengan syair pilu. Ruas kering di lehernya patah tak sanggup lagi berlenggak lenggok menentang angin. “Tak ada yang menarik dari hidupku. Mantra itu hanya membebaniku. Milikilah jika itu bisa membuatmu tenang!” jawabku dengan acuh. “Apa kau tidak mencintainya?” tanyanya menyelidik. “Dia siapa maksudmu? Tahu apa kau tentang hidupku?” sentakku geram.”Aku bisa melihatnya dengan jelas, ketika kucicipi mantra itu dari getaran suaranya.” kata ilalang mantap. “Dia merindukanmu Rin... dia putus asa atasmu. Bagilah aku dengan cerita itu, agar kematianku bermakna. Nanti akan kuceritakan pada leluhurku bahwa hidupku pernah memiliki arti” katanya lirih memandangi tangkainya yang koyak dilindas hujan. “Lalu bagaimana aku harus bercerita tentang hidupku yang sama sekali tidak memiliki arti?”tanyaku pilu.

“Sejak dulu aku hanya beban untuknya. Bahkan sampai detik ini pun aku tetap membebani puing-puing hatinya” seduku akhirnya terlontar juga. Ilalang tersenyum samar menapaki serpihan kata-kataku. “Lalu kenapa kau masih terpaku di sini? Pergilah dan temui dia! Kau bisa katakan betapa kau juga mencintainya.” katanya bersemangat. “Bambu itu tidak akan pernah mengijinkanku pergi. Lagipula aku malu... Tak ada lagi yang bisa kuberikan untuknya selain selaksa luka.” kataku sambil melirik sebuah bambu hijau yang tertancap kokoh di ujung tubuhku. Hening. Kupandangi ilalang tergeletak bisu kuning pucat. Ia ukirkan mantra-mantra itu dibulir tubuhnya untukku. Masih kulihat jelas seutas senyum yang tak akan lagi disodorkan menemaniku menunggu waktu dan meregangkan ketidakberdayaan. Lalu pagi pun akhirnya menyuruhku diam.

Aku tersadar ketika jejak-jejak kecil seseorang berjalan di sekitarku. “Ton... sini, kita pake bambu ini aja untuk mbuat layang-layang!” kata bocah kecil itu sembari mencabut sepotong bambu muda yang menancap diujung tubuhku. Sontak guritan-guritan luka itu kembali hadir mengiris bagian-bagian tubuhku yang tak lagi terbentuk. Aku tetap diam membisu hingga belaian malam hadir lagi.

Kali ini kudengar jelas suaramu mendendangkan mantra. Syahdu merasuk sukma. Belum pernah kudengar sejelas ini sejak aku terkekang oleh bambu itu. Lalu aku pun berjingkat menghampiri suaramu yang lirih. Di kamar belakang, tempatmu bercumbu dengan kesepian yang menganga di hati aku berdiri. Wajahmu tampak berbeda ketika kuhampiri. “Kenapa?” tanyaku dalam diam. “Rina???” aku tahu kau bertanya penuh rindu. Sementara leherku tercekat seakan tak mampu berkata bahwa aku mencintaimu. “Istrimu membuangku di kebun belakang. Tolong kuburkan jasadku dengan layak.” hanya kata itu yang mengiringi puing-puing tubuhku yang lebur ditelan kepekatan.

Tidak ada komentar: