Cerpen seperti apa kamu suka?

Minggu, 15 Maret 2009

KEmatian


Minggu, 28/12/08 sekitar pukul 9.30 pagi di atas sebuah motor yang dikendarai ayahku, aku membonceng di belakang sambil mengapit adekku yang masih kelas 3 SD di tengahnya antara aku dan ayahku. Pagi ini ayahku dan adekku hendak ke Salatiga bersilaturrahim ke rumah nenek sambil membawa dua ekor ayam hitam yang tergantung agak miring di motor. Aku ikut membonceng karena ayah hendak memilih naik bus daripada harus mengendarai motor dengan bawaan barang yg cukup mengganggu. Makanya tugasku di sini adalah mengantar ayah dan adikku ke halte bus. Selama perjalanan… adikku yang tampak mengoceh ke sana kemari menanyakan setiap tulisan yg dilihatnya di jalan atau menceritakan teman sekolahnya yg baru saja d lihatnya d trotoar. Aku hanya bilang “iya” tanpa menyimak, acuh tak acuh, sedangkan ayah tetap diam. Tiba-tiba adikku nyeletuk, “Pak, ntar klo naik bis, adil maunya duduk di daerah belakang ya pak?” Sedangkan ayahku menanggapi,” Ya nggak harus to dhek, tergantung nanti dapat tempat duduknya di mana.” Kemudian akupun ikut menyambung, “Lha kenapa to dhek? Kok mawnya milih bagian belakang?” Adekku pun langsung menimpali, “Lha kan kalau di belakang, kalau kecelakaan bisa selamat.”

Aku pun terkekeh dalam hati, mendengar penjelasan adekku, “Woooh… belum tentu dhek. Malah justru kebanyakan kecelakaan yg terjadi tu, justru orang2 yg duduk di bagian depan yang sering selamat.” jawabku sok tahu. “Lha kenapa mbak?” tanya adekku penasaran. “Soalnya klo kita duduk di depan apalagi deket sopir, kita tahu keadaannya sayang, jd harus lari ke arah mana untuk menyelamatkan diri tauw. Kalau di belakang kan gag siap, jd ktika kecelakaan langsung natap apa ninggal deh.” Jawabku dengan penuh teori yg asal2an. “Tapi kalau busnya ngungsep di jurang kn yg mati duluan yg depan mbak?” protes adekku. Akupun tertawa terkekeh, “Wah kalau itu yah jelas lah dek…wong yg ktubruk duluan depannya. Adekkupun ikut tertawa merasa opininya benar dan aq setujui. Akupun terdiam sejenak. Berpikir tentang kematian mengingatkanku pada kejadian kemarin malam ketika aku masuk kamar dan kukunci dari dalam. Q lepas kerudungku yang terasa agak menyesakkan kepalaku. Ku lepas ikatan di rambutku. Kusisir dengan hati-hati rambut panjangku yang tergerai sepunggung sambil menghadap cermin besar d atas meja kamarku. Ku sibak2an rambutku ke kanan dan kekiri. Aku pun tersentak ketika memandang bayangan rambutku di depan cermin. Ada sehelai rambut mengkilat putih di antara helaian rambut hitam lainnya. Kuamati lekat-lekat melalui cermin yang ada di hadapanku, kupilah-pilah lagi rambutku barangkali ada uban lain yang bersarang di kepalaku. MasyaAllah, ternyata banyak. Lebih dari satu, 4 atau 5 helai mungkin. Hatiku tergetarkan. Padahal umurku masih 20 tahun, tapi sudah beruban. Jadi teringat kata-kata ustadz pada pertengahan pengajian yang pernah ku ikuti. Ada suatu kisah tentang seorang nabi entah nabi siapa, lupa aku. Dia meminta malaikat Izroil mengirimkan surat padanya ketika ajalnya semakin dekat. Namun, ketika malaikat Izroil datang di hadapannya hendak mengambil nyawanya, beliau protes. “Kan sebelumnya aq sudah berpesan untuk mengirimkan surat terlebih dahulu?” Ya seperti itulah kira2 protesnya. Lalu malaikat Izroil menunjuk ke arah berhelai-helai uban di kepalanya, “Lha itu suratnya dah q kirim banyak sekali.” kira2 begitu juga jawab malaikat Izroil. Mengingat cerita itu hatiku semakin gundah. Ada rasa takut, bingung, tidak terima, tidak siap dan sebagainya. “Ya, Allah… apakah ini tanda yg engkau berikan untukku sebagai pengingat bahwa umurku tidak lama lagi?” kataku dalam hati masih memandangi cermin. Ada perasaan ingin ku cabut saja ubanku saat itu. Tapi aku pernah membaca dalam sebuah artikel bahwa mencabut uban merupakan perbuatan yang makruh bagi orang muslim. Maka kuurungkan niatku.

Lamunanku akan kejadian tempo hari pun pecah oleh adikku yang masih cerewet dengan topik bus masuk jurang. “Lha trus klo begitu enaknya duduk di bagian mana ya mbak? depan ato belakang? ato tengah2?” Sejurus adekq menanyakan pertanyaan bertubi2 yang terdengar sangat menggelikan. Dengan tenang aku pun menjawab “Dhek, entah maw duduk di belakang, di depan, mo kumpet, ato mo lari ke ujung dunia pun, kalau jatah hidup kita sudah di putuskan sampai di situ ya… sampai di situ. Kalau dah jatahnya mati ya mati, nggak bisa di undur2 lagi. Jadi selama kita masih hidup, kita harus berusaha semampu kita untuk melakukan yang terbaik. Jangan lupa sholat, ngaji, berbuat baik ma sesama.” akhirnya dengan sok dewasa dan menggurui akupun memberikan pengertian kepada adikku. Dia hanya mengiyakan karena mendapatkan jawaban yang tepat. Sementara aku, jauh dari dalam hatiku aku sendiri juga takut bila akhirnya maut tiba2 datang di hadapanku. Menagih semua janji, menagih semua sumpah setia mengabdi hanya untuk Allah, yg mungkin dulu pernah ku ucapkan sebelum nyawaku ditiupkan ke dalam rahim ibuku. “Asytaghfirullah” Aku sadar selama ini telah banyak melakukan dosa. Aku sadar selama ini ibadahku masih kurang. Aku sadar bahwa aku hanyalah seorang hamba yang sangat rendah dengan dosa-dosanya. Aku belum siap jika seandainya detik ini harus menghadapNya. Aku malu padaNya. Malu atas semua dosa yg pernah ku lakukan. “Ya Allah hanya kepadamu lah aku memohon ampun dan memohon pertolongan”

Tidak ada komentar: